Spiking Neural Networks: Masa Depan AI yang Meniru Otak Manusia
- Rita Puspita Sari
- •
- 16 Okt 2025 20.09 WIB

Ilustrasi Spiking Neural Networks
Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) terus mengalami evolusi pesat. Jika sebelumnya dunia mengenal jaringan saraf tiruan (Artificial Neural Networks atau ANN) dan model bahasa besar (Large Language Models atau LLM) seperti ChatGPT, kini para ilmuwan memperkenalkan sesuatu yang jauh lebih dekat dengan cara kerja otak manusia yaitu Spiking Neural Networks (SNNs).
Banyak yang menyebut SNN sebagai generasi ketiga jaringan saraf, dan bukan tanpa alasan. Teknologi ini tidak hanya menjanjikan efisiensi energi luar biasa, tetapi juga kemampuan untuk berpikir dan belajar dengan cara yang lebih alami layaknya otak manusia.
Lalu, apa sebenarnya Spiking Neural Networks itu? Mengapa banyak ahli menyebutnya sebagai masa depan AI? Dan apa tantangan yang masih harus dihadapi sebelum teknologi ini bisa digunakan secara luas?
Mari kita bahas secara mendalam namun dengan bahasa yang mudah dipahami.
Mengenal Spiking Neural Networks (SNNs)
Untuk memahami SNN, bayangkan cara kerja otak manusia. Di dalam otak, terdapat miliaran neuron yang saling berkomunikasi melalui sinyal listrik singkat yang disebut spike. Sinyal ini muncul hanya ketika diperlukan — misalnya saat kita mendengar suara, melihat gambar, atau memproses informasi baru.
Nah, Spiking Neural Networks mencoba meniru mekanisme ini.
Alih-alih terus aktif seperti Artificial Neural Networks tradisional (ANN), neuron dalam SNN hanya “menyala” ketika menerima rangsangan tertentu. Inilah yang disebut dengan pendekatan berbasis peristiwa (event-driven).
Perbedaan inilah yang menjadikan SNN sangat efisien dan lebih realistis dalam meniru otak manusia. Jika ANN bekerja seperti lampu yang terus menyala, maka SNN lebih mirip sensor gerak, hanya aktif ketika ada hal penting yang harus diproses.
Mengapa SNN Disebut Sebagai Generasi Ketiga AI
Sejak awal perkembangan AI, para peneliti telah melalui beberapa tahap penting:
- Generasi pertama: Perceptron dan model logika sederhana yang hanya bisa mengenali pola dasar.
- Generasi kedua: Deep Learning dan Large Language Models seperti GPT, BERT, dan lainnya yang bisa memahami bahasa, gambar, hingga suara.
- Generasi ketiga: Spiking Neural Networks, yang mencoba meniru dinamika neuron biologis untuk membuat mesin “berpikir” dan “belajar” seperti manusia.
Dengan kata lain, SNN bukan sekadar peningkatan algoritma, tetapi merupakan pergeseran paradigma dalam cara kita mendesain kecerdasan buatan.
Efisiensi Energi yang Luar Biasa
Salah satu keunggulan paling menonjol dari SNN adalah efisiensi energi.
Model AI saat ini, seperti ChatGPT atau Gemini, membutuhkan daya komputasi yang sangat besar karena miliaran neuron buatan di dalamnya bekerja terus-menerus, bahkan ketika tidak diperlukan.
Sebagai gambaran, menjalankan satu sesi obrolan sederhana di LLM dapat melibatkan jutaan perhitungan matematis secara bersamaan.
Hal ini membuat konsumsi energi menjadi sangat tinggi, tidak ramah lingkungan dan sulit diterapkan pada perangkat kecil seperti ponsel.
SNN menawarkan solusi menarik:
Neuron hanya aktif ketika “terpicu” oleh sinyal penting. Dengan cara ini, energi yang digunakan bisa berkurang hingga 100 kali lipat dibanding jaringan saraf tradisional.
Pendekatan ini disebut dengan sparsity, yaitu hanya sebagian kecil neuron yang bekerja dalam satu waktu. Dengan efisiensi semacam ini, AI canggih dapat dijalankan di perangkat berdaya rendah seperti smartphone, mobil listrik, atau sistem tertanam (embedded system) tanpa mengorbankan performa.
Bayangkan masa depan di mana asisten AI setara ChatGPT bisa berjalan secara offline di ponsel dengan baterai awet seharian, inilah visi yang dibawa oleh SNN.
Neuromorphic Hardware: Saat Otak Bertemu Mesin
Agar SNN bisa bekerja secara optimal, para ilmuwan juga sedang mengembangkan perangkat keras neuromorfik (neuromorphic hardware) — chip yang dirancang khusus untuk meniru cara kerja otak manusia.
Berbeda dari CPU atau GPU konvensional yang bekerja secara berurutan dan linear, chip neuromorfik mampu memproses jutaan spike secara paralel dan acak, sama seperti otak biologis.
Beberapa contoh teknologi ini sudah dikembangkan, seperti:
- Intel Loihi, chip yang mampu mempelajari pola dan beradaptasi tanpa perlu di-program ulang.
- IBM TrueNorth, prosesor dengan jutaan neuron buatan yang dapat mengolah informasi secara efisien dan cepat.
Ketika SNN dijalankan di atas chip semacam ini, hasilnya luar biasa:
AI dapat memproses informasi secara real-time, membuat keputusan lebih cepat, dan menggunakan energi jauh lebih sedikit.
Aplikasi nyata dari kombinasi SNN dan neuromorphic hardware mencakup:
- Mobil otonom, yang harus membuat keputusan dalam milidetik.
- Robot industri dan medis, yang perlu merespons lingkungan dengan cepat.
- Penerjemahan bahasa secara langsung, yang membutuhkan pemrosesan waktu nyata tanpa jeda.
Dengan kata lain, neuromorphic computing adalah “otak buatan” dalam bentuk chip, fondasi bagi AI masa depan yang benar-benar cerdas dan hemat daya.
Kemampuan Memahami Waktu: AI yang Lebih “Hidup”
Salah satu perbedaan mendasar antara SNN dan model AI konvensional terletak pada cara mereka memproses waktu.
ANN tradisional memproses data seolah semuanya terjadi secara bersamaan.
Namun, kenyataannya dunia tidak bekerja seperti itu — informasi datang bertahap, terus berubah dari detik ke detik.
SNN unggul karena dapat memahami urutan dan konteks waktu secara alami.
Setiap spike membawa informasi bukan hanya tentang “apa” yang terjadi, tapi juga “kapan” hal itu terjadi.
Kemampuan ini menjadikan SNN sangat cocok untuk tugas-tugas seperti:
- Pemrosesan bahasa alami (Natural Language Processing/NLP), karena bahasa mengandung konteks waktu dan makna yang berkembang.
- Analisis suara dan musik, di mana ritme dan tempo memainkan peran penting.
- Pengendalian sistem robotik dan kendaraan otonom, yang harus merespons kondisi lingkungan secara dinamis.
Bayangkan AI yang bukan hanya mengenali kata, tapi juga memahami nada, jeda, dan emosi di baliknya, semua itu dimungkinkan oleh pemrosesan waktu dalam SNN.
Meniru Cara Kerja Otak Manusia
Hal paling menarik dari SNN adalah sejauh mana ia meniru otak manusia, tidak hanya dari sisi struktur tetapi juga dari cara belajar.
Dalam otak, hubungan antar neuron (sinapsis) dapat menguat atau melemah tergantung pada seberapa sering dan dalam urutan apa sinyal dikirim.
Prinsip ini disebut Spike-Timing-Dependent Plasticity (STDP) dan menjadi dasar bagaimana manusia belajar dari pengalaman.
SNN mengadopsi prinsip ini dalam bentuk algoritma yang memungkinkan sistem belajar dari waktu dan pola kejadian. Dengan STDP, AI dapat mengenali pola, menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan, dan meningkatkan kemampuannya tanpa perlu “dilatih ulang” dari nol.
Keunggulan biologis ini membuka jalan bagi konsep baru dalam dunia AI, yaitu:
- Belajar dari sedikit data (few-shot learning): AI tidak perlu ribuan contoh untuk memahami sesuatu.
- Adaptasi lintas tugas: AI bisa menerapkan pengalaman di satu bidang ke bidang lain.
- Pembelajaran seumur hidup (lifelong learning): AI terus berkembang seperti manusia yang belajar dari pengalaman harian.
Jika LLM seperti ChatGPT adalah hasil dari pelatihan besar-besaran dengan data raksasa, maka SNN berpotensi menjadi AI yang belajar layaknya manusia — sedikit demi sedikit, tapi terus meningkat setiap waktu.
Tantangan yang Masih Dihadapi
Meski potensinya luar biasa, SNN belum siap menggantikan model AI yang ada saat ini. Ada beberapa tantangan besar yang masih harus dipecahkan oleh para peneliti:
-
Kesulitan dalam Pelatihan
Algoritma pelatihan seperti backpropagation yang digunakan di ANN tidak bisa diterapkan secara langsung pada SNN, karena spike bersifat diskrit (tidak kontinu).
Untuk mengatasinya, ilmuwan tengah mengembangkan pendekatan baru seperti surrogate gradient, yang memungkinkan pembelajaran pada sinyal lonjakan. -
Keterbatasan Perangkat Keras
Chip neuromorfik yang dibutuhkan SNN belum diproduksi secara massal.
Masih diperlukan waktu agar teknologi ini matang dan lebih mudah diakses.
Namun seiring kemajuan perusahaan seperti Intel, IBM, dan BrainChip, masa depan ini tampak semakin dekat. -
Kompleksitas Struktur Otak Buatan
SNN hanyalah fondasi dasar. Untuk membangun sistem cerdas seperti otak manusia, jaringan ini harus diorganisasi menjadi ratusan “nukleus fungsional” — bagian-bagian khusus seperti dalam otak (misalnya interaksi antara korteks prefrontal dan ganglia basalis).
Dengan kata lain, SNN adalah bahan mentah; perlu arsitektur dan koneksi kompleks agar bisa benar-benar “berpikir”.
Masa Depan Spiking Neural Networks
Bayangkan AI yang bisa belajar tanpa pelatihan besar, merespons cepat dengan konsumsi energi rendah, dan beradaptasi seperti manusia.
Itulah gambaran masa depan yang ingin dicapai oleh Spiking Neural Networks.
Ketika SNN dan neuromorphic hardware berkembang lebih jauh, dunia mungkin akan menyaksikan AI generasi baru yang tidak hanya “cerdas”, tetapi juga efisien, responsif, dan alami.
Mulai dari sistem penglihatan robotik, sensor kendaraan otonom, hingga chip kecerdasan buatan di perangkat portabel, semua bisa menjadi lebih hemat energi dan cerdas berkat teknologi ini.
Kesimpulan
Spiking Neural Networks bukan sekadar evolusi kecil dari jaringan saraf buatan, melainkan revolusi besar dalam cara kita membangun kecerdasan buatan.
Dengan efisiensi energi tinggi, kemampuan memahami waktu, dan cara belajar yang menyerupai otak manusia, SNN berpotensi mengubah seluruh ekosistem AI, dari ponsel pintar hingga robot otonom.
Namun, perjalanan ini masih panjang. Diperlukan penelitian mendalam, perangkat keras yang lebih kuat, dan pemahaman baru tentang bagaimana meniru kompleksitas otak manusia.
Jika Deep Learning adalah masa kini, maka Spiking Neural Networks adalah masa depan AI yang sesungguhnya — cerdas, hemat energi, dan semakin mirip cara berpikir manusia.